Friday, April 30, 2010

Tukang Kain

Hari Jumat itu belum juga subuh, saya memperhatikan seorang anak muda yang tampan dan kekar, berjalan melewati gang-gang di kotaku. Ia mendorong sebuah gerobak tua berisi kain-kain baru dan berwarna cerah. Ia berteriak-teriak dengan suara tenornya yang jernih, teriaknya, "kain!"ah, suasana indah sekali dan sinar matahari baru menyapa, harmonis sekali dengan suaranya.

"Kain! Kain baru ditukar yang lama! Ambil kain usangmu! Kain!"

"Ini baru kejaiban," batinku, bagi seorang yang berdiri tegad dan dengan tangannya yang kekar, keras dan berotot, dan matanya memancarkan kepintarannya. Tidak dapatkah dia menemukan pekerjaan yang lebih baik dari ini, hanya sebagai tukang kain keliling.

Saya mengikutinya, keingintahuan mendorong saya, dan tidak mengecewakan.

Tak lama kemudian tukang kain itu melihat seorang wanita yang sedang duduk di beranda. Ia sedang menangis tersedu-sedu dengan sebuah sapu tangan di tangannya. Menutupi dan menampung ribuan tetes air mata. Posisi kaki dan sikunya membentuk posisi X, seolah ikut sedih. Bahunya bergetar. Hatinya hancur berantakan.

Tukang kain itu menghentikan langkahnya, perlahan ia mendekati wanita itu, melewati kaleng-kaleng dan mainan usang.

"Berikan kepada saya kainmu itu," katanya dengan lembut, "dan saya akan menukarnya dengan yang baru."

Ia menarik sapu tangan itu dari mukanya, ia melihat kearah anak muda itu, dan ia memberikan selembar kain linen baru di tangannya, sangat bersih bersih hingga seolah bersinar. Ia kemudian berkedip dan beralih dari pemberian ke arah pemberinya.

Anak muda itu kembali ke gerobaknya dan meneruskan perjalanannya, hal yang aneh terjadi kemudian, ia mengusapkan sapu tangan itu ke wajahnya, dan setelah itu ia mulai menangis. Menangis tersedu-sedu, seperti wanita itu sebelumnya sehingga bahunya bergetar. Wanita yang ditinggal itu berhenti menangis.

"Ini sebuah keajaiban," saya membatin, dan saya terus mengikuti tukang kain yang menangis tersedu-sedu seperti anak kecil yang ketakutan.

"Kain!Kain!Kain baru ditukar dengan kain usang!," seru anak muda itu. Beberapa waktu kemudian, ketika langit mendung terlihat di atas atap rumah, saya seperti melihat korden usang tergantung di sebuah jendela yang gelap. Tukang kain itu mendatangi seorang perempuan muda yang kepalanya dibungkus perban. Mata perempuan muda itu kosong. Perbannya dipenuhi darah. Segaris darah terlihat menetes di pipinya.

Tukang kain itu memandang perempuan muda itu dengan sedih, kemudian ia mengambil sebuah topi kuning bertali yang indah dari gerobaknya.
"Berikan kepada saya kainmu itu," katanya, sambil mengelap jejak darah yang mulai mengering di pipinya, "dan saya tukar dengan yang baru."
Perempuan muda itu hanya dapat terpana ketika anak muda itu melucuti perbannya dan kemudian mengikatnya kembali di kepalanya sendiri. Sebagai gantinya ia memasangkan topi itu di kepalanya, saya tercekat melihat yang terjadi: bersamaan dengan berpindahnya perban begitu juga lukanya. Alisnya menjadi gelap, meleleh darah-darahnya sendiri.

"Kain!Kain! Tukarkan kain usangmu dengan yang baru," serunya sambil menangis, dan berdarah, tanpa kehilangan kekuatannya dan kecerdasannya.
Matahari melukai langit dan sekarang mata saya; entah kenapa tiba-tiba tukang kain itu menjadi terburu-buru dan makin terburu-buru.

"Apakah anda hendak pergi bekerja?" ia bertanya kepada seorang pria yang bersandar di tiang telepon. Kepalanya menggeleng.
Tukang kain itu terus bertanya, "apakah kamu mempunyai pekerjaan?"
"Kamu ini gila atau apa? Jawab orang itu dengan sinis. Ia kemudian berdiri tegak dan menunjukkan lengan kanan jaketnya - rata, ujung lengannya dimasukkan ke kantong. Ia buntung.
"Jadi," kata tukang kain, "berikan kepada saya jaketmu dan akan saya berikan jaket saya kepadamu."

Suaranya penuh wibawa-saya sampai tergetar melihat apa yang saya lihat. Orang bertangan satu itu mencopot jaketnya, begitu juga si tukang kain. Tangan tukang kain itu tetap tinggal di jaketnya dan ketika dikenakan kemudian orang buntung itu mempunyai dua buah tangan yang sehat, tebal setebal dahan pohon tetapi tukang kain itu hanya memiliki satu lengan saja jadinya.
"Pergilah bekerja," katanya.

Setelah itu ia bertemu dengan seorang yang mabuk, tergeletak tak sadarkan diri diselimuti selimut yang bermotif loreng tentara. Seorang tua mabuk dan sakit. Anak muda itu kemudian mengambil selimut itu dan dipakainya untuk menyelimuti dirinya dan untuk orang tua itu ia meninggalkan baju baru.

"Sekarang saya harus bisa mengimbangi tukang kain itu." Sekalipun ia sambil menangis, limbung, dan darah mengalir deras dari dahinya, ia tetap menarik gerobaknya dengan satu tangan. Mencoba bertahan dari mabuknya jatuh dan terjatuh lagi, kelelahan, tua dan sakit. Sekalipun demikian, ia terus berjalan dengan kecepatan tinggi. Seolah berkaki banyak seperti laba-laba, ia merambat dengan cepat melewati lorong-lorong di kota, terus berjalan sampai akhirnya ia mencapai batasnya dan terhenti.

Saya menangis melihat perubahan yang terjadi terhadap anak muda ini. Saya sungguh terluka melihat kesedihan tetapi saya harus tetap bertahan karena saya perlu mengetahui kemana ia menuju dengan tergesa-gesa, paling tidak mengetahui apa yang mendorongnya.

Tukang kain itu tiba di sebuah tempat pembuangan akhir sampah. Ia mendekati sebuah lobang sampah. Sebenarnya saya ingin membantu tapi kemudian saya urung dan kembali bersembunyi. Dengan susah payah ia membersihkan sepetak tanah di bukit itu. Ia mengambil nafas panjang lalu merebahkan tubuhnya. Ia menggunakan sapu tangan dan jaket sebagai bantalnya. Ia menutupi tubuhnya dengan selimut loreng tentara. Ia mati.

Oh, saya menjadi saksi sebuah kematian. Saya tersungkur kedalam sebuah mobil tua dan menangis dan menjerit seperti seorang sudah kehilangan harapan - karena saya jadi mencintai tukang kain itu, semua keburukan telah menghilang didalam keajaiban orang ini dan saya memujanya; tapi ia mati. Saya menangis tersedu-sedu sampai tertidur.

Saya tidak tahu - bagaimana mungkin saya tahu? - bahwa saya telah tertidur sejak jumat malam, Sabtu, dan malam itu juga.
Tapi kemudian, hari Minggu pagi saya dibangunkan dengan paksa.
Sinar-murni, tajam, cahaya yang menuntut-menampar mukaku yang lelah dan saya mengedip, melihat sebuah akhir dari awal keajaiban.
Tukang kain itu melipat selimutnya dengan sangat rapi, codet di dahinya hilang, dan ia hidup. Sehat. Tidak ada tanda-tanda ketuaan dan semua kain yang telah ia kumpulkan bersinar karena bersihnya.

Saya menunduk dan menggigil atas semua yang telah saya saksikan. Saya berjalan mendekat ke arahnya. Saya memperkenalkan nama saya dengan malu, karena saya adalah figure yang memalukan didepannya.

Saya kemudian mencopot seluruh baju yang saya pakai dan berkata kepadanya, "dandanilah saya".

Ia mendandani saya. Tuhanku Ia memakaikan kain baru diatas saya dan saya menjadi keajaiban disampingnya. Tukang kain, Sang Kristus. (-Walter Wangerin-)

Untuk direnungkan :
1. Saya telah didandani dan memakai kain baru..akankah saya melakukan hal-hal yang dapat mengotori kain dan merusak dandanan baru saya?
2. Untuk setiap penderitaan yang telah ditanggung olehNya karena saya, akankah saya masih mengecewakan Dia?

Suatu renungan singkat untuk direnungkan. Dia sabar menunggu kok hingga kamu berbalik dan masuk dalam pelukanNya. Tapi.... jangan karena tahu Dia sabar, malah jadi kelamaan dan menunda ya...

Bagus ya. Ini gw dapet dari sebuah blog orang lain. hehe. Mungkin sampe tengah pun pas kita baca, udah dapet gambaran kalo si tukang kain itu Tuhan Yesus. Dia yang ambil setiap penderitaan kita dan menanggungnya. Baik bangett. :)

God bless y'all.



2 comments :

  1. ya ampun ci ika. blog org lainnya itu blognya cece gue hahaha

    ReplyDelete
  2. ya ampunnn hahaha. jadi maluuuu. tapi bagus tulisan2nya yah. oh iya dapet linknya emang dari blog kamuu.

    ReplyDelete